INGATLAH AKU DISETIAP SUDUT LAMUNANMU...^_^

Sabtu, 07 November 2009

CErItA SI "KABAYAN" yeeeUuuuuHhh
URANG SUNDA ... NOONG SI KABAYAN

BACA NYAKKKK !!!!!
nu ieu mah ceuk aki ikon:
=========
Si Kabayan
Ahmad Gibson Albustomi

NAMANYA Kabayan. Dipanggil Si Kabayan sebagai ungkapan keakraban dan
kedekatan yang demikian menyatu dengan kehidupan fansnya. Nama dari
cerita lucu yang hidup dalam tradisi masyarakat Sunda. Sulit untuk
mencari orang Sunda yang tidak mengenal nama tokoh cerita ini.
Kecuali, anak kecil yang belum tahu apa-apa, atau orang tua yang sejak
kecil buta dan tuli. Sedemikian terkenalnya tokoh ini sehingga
menutupi keterkenalan tokoh yang mengorbitkan nama tersebut. Bahkan,
akhirnya nama yang mengorbitkan nama tersebut sama sekali tidak pernah
dikenal.

Si Kabayan merupakan tokoh yang memiliki karakteristik yang unik,
khususnya dalam imajinasi masyarakat Sunda. Tokoh ini digambarkan
sebagai “figur” yang memiliki karakteristik lucu, polos, namun
memiliki kecerdasan yang sulit diduga. Khususnya Si Kabayan, sering
digambarkan sebagai tokoh yang serbabisa, bagaimana tidak, bila ia
kadang menjadi sosok, santri, kadang menjadi sosok kiai, dukun dan
tokoh lainnya. Bahkan, dalam terbitan terakhir Yus R. Ismail
menceritakan Si Kabayan malih rupa menjadi seorang Sufi. Pokoknya
dalam apapun gambaran Si Kabayan menjadi sah, sejauh lucu dan cerdas.
Paling tidak harus lucu, itu yang sama sekali tidak boleh hilang dari
karakter Si Kabayan. Selain Si Kabayan terdapat tokoh lain dalam
khazanah sastra Sunda, yaitu Lengser atau Mamang Lengser kadang
dipanggil Ua Lengser.

Tidak jauh berbeda dengan imaji orang tentang Si Kabayan, Mamang
Lengser pun senantiasa digambarkan kurang lebih sama. Bedanya dengan
Si Kabayan, Mamang Lengser senantiasa dihubungkan dengan fungsi-fungsi
kekuasaan, kerajaan. Mamang Lengser, cocok dengan namanya yang kurang
lebih berarti “turun” (lengser, lungsur=turun), ia sering diposisikan
sebagai kepanjangan titah Sang Raja. Lengser adalah “perwujudan” dan
“perwakilan” dari Sang Prabu atau Raja yang turun menemui dan menyatu
dengan rakyatnya. Dan perbedaan yang lain adalah Mamang Lengser
dikenal dalam naskah-naskah sastra klasik Sunda, sedangkan Si Kabayan
tidak demikian. Bukan kebetulan bila kata kabayan pun, dalam bahasa
Sunda, memiliki makna yang kurang lebih sama, yaitu “utusan”.

Keberadaan Mamang Lengser dan Si Kabayan merupakan prototipe kelas
sosial yang tidak pernah dikenal dalam teori modern mana pun. Mamang
Lengser, sebagai contoh, kalau pun ia merupakan perwujudan dan
kepanjangan dari Sang Prabu, tetapi fungsi dan posisinya ini bukan
merupakan fungsi dan posisi yang bersifat formal. Walaupun dalam
kondisi tertentu, Mamang Lengser kadang seolah-olah berposisi sebagai
Penasihat Raja, ia tetap berposisi sebagai masyarakat biasa dan tidak
memiliki fasilitas apa pun dari kerajaan. Kalaupun Mamang Lengser
diposisikan (dalam sistem pemerintahan modern, trias politik) sebagai
wakil rakyat (DPR), sama sekali tidak bisa dianggap demikian. Karena,
Mamang Lengser sama sekali tidak memiliki hak wewenang sebagaimana
halnya seorang legislatif. Posisi Mamang Lengser hanya mungkin
dibandingkan dengan punakawan dalam dunia pewayangan. Apakah
keberadaan Mamang Lengser ini mengadopsi cerita pewayangan yang
memiliki setting sosial yang kurang lebih sama? Rasanya tidak juga,
karena bisa dipastikan bahwa keberadaan Mamang Lengser (dalam cerita
lisan, buku tulis) lebih tua dibandingkan cerita pewayangan? Bahkan,
jangan-jangan keberadaan punakawan dalam pewayanganlah yang mengadopsi
keberadaan Mamang Lengser dalam cerita lisan masyarakat Sunda. Hal ini
dapat dipahami bila melihat kenyataan bahwa dalam naskah Mahabrata
maupun naskah lainnya yang menjadi sumber cerita pewayangan tidak
dikenal tokoh-tokoh punakawan tersebut.

Bila melihat setting yang melatarbelakangi kedua tokoh tersebut, yang
pertama Mamang Lengser dalam setting suatu masyarakat kerajaan,
sedangkan yang kedua (Si Kabayan) dalam masyarakat “tidak tentu”.
Tidak tentu, karena jarang ada penulis cerita atau penutur cerita Si
Kabayan yang menjelaskan secara rinci sistem kekuasaan atau
pemerintahan apa yang berlaku pada masyarakat di mana Si Kabayan
hidup. Memang sering disebut keberadaan kuwu, lurah atau kepala desa,
demikian juga dengan lebe dan mantri pulisi, tetapi hal itu bisa-bisa
saja sekadar pengalihan fungsi-fungsi lembaga sosial klasik dalam
fungsi lembaga sosial modern. Tapi juga, tidak bisa dikatakan bahwa Si
Kabayan hidup dalam setting masyarakat klasik Sunda (kerajaan), karena
jarang juga yang menceritakan Si Kabayan dalam setting kehidupan
demikian. Barangkali ia lebih merupakan cerita dari negara entah
berantah, negara yang hanya ada dalam imajinasi masyarakat Sunda.
Negara yang memungkinkan si penutur menjadi aman untuk melemparkan
kritik sepedas apa pun, tembak sana tembak sini, tanpa merasa perlu
khawatir menyinggung seseorang secara langsung. Uniknya, ada cerita
bahwa terdapat sejumlah makam tokoh Si Kabayan di beberapa tempat.
Wallahu’alam.

**

DI TIMUR Tengah sana, terdapat juga tokoh sejenis. Tokoh yang juga
memiliki karakteristik yang kurang lebih sama, di antaranya tokoh Ali
Baba, Nasruddin dan tokoh-tokoh lainnya. Tokoh-tokoh tersebut pada
umumnya digambarkan sebagai tokoh dari kalangan sufi. Komunitas yang
pada saat lahirnya tokoh tersebut gencar melakukan kritik terhadap
para penguasa, khalifah, dan, tokoh-tokoh tersebut, khususnya
Nasruddin dianggap sebagai tokoh yang benar-benar ada, hidup. Sulit
dipastikan adakah hubungan saling memengaruhi kemunculan tokoh yang
berkarakter hampir mirip tersebut. Bahkan untuk dikira-kira pun sulit,
karena tidak ada fakta yang mendukung. Selain itu, adanya kesamaan
antara satu hal dengan hal lain di dunia ini, sejauh berhubungan
dengan kreativitas manusia, tidak semuanya bisa dianggap adanya saling
pengaruh-memengaruhi. Bahkan jangan-jangan tidak pernah ada kontak
dalam persoalan tersebut.

Bila demikian, khususnya membaca keberadaan tokoh Mamang Lengser dan
Si Kabayan, dalam masyarakat Sunda, tradisi kritik yang cerdas dan
membangun bukanlah hal yang asing dalam kehidupan masyarakat Sunda.
Tidak pernah ada atau lembaga tertentu yang merasa tersinggung dengan
ungkapan dan gaya hidup Mamang Lengser maupun Si Kabayan. Dan tidak
pernah juga ada cerita penutur maupun penulis cerita ini yang
dipanggil untuk dimintai keterangan. Hal ini dimungkinkan karena
karakteristik dari metode penceritaan kedua tokoh tersebut menggunakan
metode yang benar-benar khas.

Pendengar atau pembaca “dipaksa” oleh penulis maupun penutur untuk
melakukan “transposisi”, di mana Si Kabayan tidak lagi berposisi
sebagai objek baca ataupun objek dengar, dan tidak pernah berada dalam
posisi sebagai “alat bicara” atau media bagi penutur maupun
penulisnya. Karena Si Kabayan senantiasa berbicara atas nama pembaca
maupun pendengar.

Dalam penuturan cerita Si Kabayan bagi sang pembaca atau pendengar,
sang tokoh tidak pernah berposisi sebagai pembicara aktif. Yang
berbicara dalam cerita tersebut tiada lain dari sang pendengar dan
atau sang pembaca itu sendiri. Si Kabayan bukanlah orang lain,
melainkan diri sang pembaca atau pendengar itu sendiri yang sedang
berubah nama. Karakteristik kedua tokoh tersebut menjadi tampak lucu
dan kritiknya sedemikian tajam namun tidak menusuk, karena yang
berbicara adalah diri kita sendiri. Si Kabayan adalah bayang-bayang
dalam cermin, “bukan cermin”. Si Kabayan hadir sebagai impian dalam
tidur nyenyak yang memutar ulang pengalaman-pengalaman kita dalam
mimpi yang nyata. Pengalaman yang lucu, kocak, polos dan kadang
pikasebeleun. Kita bisa tertawa lepas mendengar dan membaca cerita Si
Kabayan, kita benar-benar memahami apa yang dikatakan Si Kabayan,
melalui perkataan dan perilakunya. Karena perkataan dan perbuatan Si
Kabayan adalah perkataan dan perbuatan kita sendiri. Lain tidak.

Si Kabayan bukanlah tokoh yang demikian sempurna tanpa cacat. Bahkan
kini muncul anggapan dan pandangan yang menganggap Si Kabayan sebagai
tokoh yang tidak patut untuk dicontoh, tidak cocok lagi dijadikan ikon
kesundaan, karena kemalasannya. Lebih dari itu kini tokoh Sunda atau
sejumlah masyarakat Sunda yang mempersalahkan Si Kabayan sebagai
penyebab karakteristik masyarakat Sunda yang dianggap malas dan tidak
memiliki etos kerja modern. Orang yang berpikir demikian, dalam
teorema pendidikan yang membebaskan Paulo Freire dikategorikan sebagai
individu masyarakat yang memiliki mental naif. Individu yang begitu
terang melihat orang lain, tapi buta dalam melihat dirinya sendiri.
Tahu tentang kesalahan tanpa mampu memberikan solusi. Individu yang
jauh dari sikap dewasa apalagi bertanggung jawab.

Dengan demikian, sejauh kita bisa tertawa ataupun bahkan merasa sebal
ketika kita membaca cerita Si Kabayan (atau cerita sejenis), artinya
bahwa rohani dan akal pikiran kita masih sehat, karena kita masih bisa
mengenal sifat-sifat kocak dan pikasebeleun dalam diri kita. Lebih
dari itu, kita masih bisa jujur pada diri kita sendiri.***

Pikiran Rakyat, Sabtu 23 Oktober 2004.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar